Kamis, 22 November 2012

PERMASALAHAN.....................

A.      Menjadi-faktor yang Kendala dalam memajukan sekolah
1.      Faktor guru
Guru memperoleh prioritas pertama untuk ditingkatkan mutunya karena guru merupakan variabel utama yang paling berpengaruh terhadap hasil belajar peserta didik/siswa, dan disisi lain kualitas guru masih terbilang rendah. Fungsi guru memang sentral dalam proses pendidikan, utamanya di sekolah. Akan tetapi kenyataannya posisi guru masih diselimuti oleh banyak masalah, misalnya profesionalitas dan jaminan penghasilan. Oleh karena itu, peningkatan profesionalitas dan pemberdayaan guru merupakan kebutuhan mendesak.
Kelayakan mengajar yang didasarkan pada pendidikan formal saja tidak cukup. Kemampuan mengajar di dalam kelas sangat diperlukan dan tingkat penguasaan materi bidang studi masih merupakan kriteria kualitas guru yang belum banyak terungkap. Padahal kualitas guru yang tampak paling berpengaruh adalah kemampuan menguasai bahan yang diajarkan. Penguasaan materi pengajaran memberikan efek positif dan berarti terhadap prestasi belajar murid.
Peningkatan profesionalisme guru sebagai prioritas pertama didasari pertimbangan: guru mempunyai intensitas interaksi yang tinggi dengan peserta didik, guru dapat berinteraksi dengan komponen pembelajaran lainnya bahkan bersinergi, guru mempunyai potensi untuk berkreasi dan berkembang terus menerus, apa yang telah dikuasai dan dimiliki guru dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama.
Faktor guru yang menjadi kendala dalam memajukan sekolah diantaranya:
a.       Guru kurang memahami profesi guru
Profesi guru adalah profesi yang sangat mulia. Sadar akan profesi ini guru harus dapat memahami peran dan fungsinya di sekolah. Guru sekarang bukan hanya guru yang mampu mentransfer ilmunya dengan baik, tetapi juga mampu digugu dan ditiru untuk memberikan tauladan yang tidak hanya sebatas ucapan tapi juga tindakan. Sebagai seorang profesional harus dapat menempatkan dirinya pada posisi sebagai pemerhati anak didik, baik perkembangan bidang akademik maupun non akademik.
b.      Guru malas membaca buku dan malas menulis
Kemalasan membaca bagi seorang guru akan membawa kemiskinan ilmu, untuk itu banyak membaca akan membuka wawasan yang lebih luas karena ilmu terus berkembang setiap saat. Kesibukan-kesibukan mengajar membuat guru merasa kurang sekali waktu untuk membaca. Kenyataan ini terjadi di sekolah, bahkan rumah pun guru malas membaca. Guru harus dapat melawan kebiasaan malas membaca. Ingatlah dengan membaca kita dapat membuka jendela dunia.
Guru yang rajin membaca, otaknya ibarat mesin pencari google di internet. Bila ada siswa yang bertanya, memori otaknya langsung bekerja mencari dan menjawab pertanyaan para siswanya dengan cepat dan benar. Sudah bisa dipastikan bila guru malas membaca, maka akan malas pula untuk menulis. Menulis dan membaca seperti kepingan uang logam yang tidak dapat dipisahkan. Guru yang terbiasa membaca, maka ia akan terbiasa menulis. Dari membaca itulah guru mampu membuat kesimpulan dari apa yang dibacanya, kemudian kesimpulan itu ia tuliskan kembali dalam gaya bahasanya sendiri.
Guru yang rajin menulis, maka ia mempunyai kekuatan tulisan yang sangat tajam, layaknya sebilah pisau. Tulisannya sangat menyentuh hati, dan bermakna. Runtut serta mudah dicerna bagi siapa saja yang membacanya.

c.       Guru kurang sensitif terhadap waktu dan terjebak dalam rutinitas kerja
Guru harus mampu memanfaatkan waktu dengan baik, jika tidak maka ia akan terbunuh oleh waktua yang ia sia-siakan sehingga tidak ada lagi prestasi yang diraih dalam hidupnya. Oleh karena itu guru harus sensitif terhadap waktu dan terjaga dari sesuatu yang kurang bermanfaat.
Saat kita memuliakan waktu, maka waktu akan menjadikan kita orang mulia. Karena itu, kualitas seorang guru terlihat dari cara ia memperlakukan waktu dengan baik. Guru yang sukses dalam hidupnya adalah yang pandai memanage waktu dengan baik.
Guru harus pandai mengatur rutinitas kerjanya. Jangan sampai guru terjebak sendiri dengan rutinitasnya yang justru tidak menghantarkan dia menjadi guru yang tidak dapat diteladani anak didiknya. Guru harus pandai mensiasati pembagian waktu kerjanya. Rutinitas kerja tanpa sadar membuat guru terpola menjadi guru yang kurang berkualitas. Hari-harinya diisi hanya untuk mengajar saja. Dia tidak mendidik anak didiknya dengan hati. Waktunya di sekolah hanya sebatas sebagai tugas rutin mengajar yang tidak punya nilai apa-apa. Guru hanya melakukan transfer of knowledge. Dia mengganggap pekerjaan dia adalah karirnya, karena itu dia berusaha keras agar yang dilakukannya bagus di mata pimpinannya atau kepala sekolah. Tak ada upaya untuk keluar dari rutinitas kerjanya yang sudah membosankan. Bahkan sampai saatnya memasuki usia pensiun.
d.      Guru kurang kreatif dan inovatif serta malas meneliti
Merasa sudah berpengalaman bertahun-tahun membuat guru menjadi kurang kreatif. sehingga malas mencoba sesuatu yang baru dalam proses pembelajarannya. Dia merasa sudah cukup maka tak ada upaya untuk menciptakan sesuatu yang baru dari pembelajarannya. Dari tahun ke tahun gaya mengajarnya itu-itu saja. Rencana Program Pembelajaran (RPP) yang dibuatpun dari tahun ke tahun sama, hanya sekedar copy paste tanggal dan tahun saja.
Guru tidak akan pernah menemukan proses kreativitas bila cara-cara yang digunakan dalam mengajar adalah cara-cara lama. Sekarang ini, sulit sekali mencari guru yang kreatif dan inovatif. Kalaupun ada jumlahnya hanya dapat dihitung dengan dua jari. Guru sekarang lebih mengedepankan penghasilan daripada proses pembelajaran yang kreatif. Pada kenyataanya setiap tahun pemerintah maupun swasta mengadakan lomba karya tulis ilmiah (LKTI) untuk para guru, dengan harapan guru mau meneliti. Namun, hanya sedikit sekali guru yang memanfaatkan peluang ini dengan baik. Padahal ini sangat baik untuk guru berlatih menulis, dan menyulut guru untuk meneliti. Dari meneliti itulah guru mengetahui kualitas pembelajarannya.
Penelitian diselenggarakan untuk memotivasi guru berkreatifitas dan menemukan inovasi-inovasi pembelajaran dan dapat memperbaiki hal-hal yang telah dilakukan agar menjadi lebih baik atau menciptakan sesuatu yang baru. Tetapi kenyataannya guru malas meneliti dan menganggap meneliti itu adalah bukan saat. Meneliti adalah tugas mereka yang ingin naik pangkat sehingga kemalasan meneliti akan menghentikan kenaikan pangkatnya di IVA.

e.       Guru kurang memahami PTK
Banyak guru yang kurang memahami penelitian tindakan kelas, Penelitian ini sebetulnya ingin mengetahui akibat dari suatu perlakuan dan melakukan tindakan sebagai akibat dari tindakan sebelumnya. Guru hanya perlu membuat jurnal mengajar/belajar dari proses pembelajarannya. Mencatat masalah-masalah yang timbul, dan mencoba mencari solusinya. Dan dari PTK inilah diharapkan terjadi proses pembelajaran yang kreatif.
2.      Faktor Kepala Sekolah
Kepala sekolah juga merupakan kendala dalam meningkatkan sekolah, Jika seorang pemimpin yang memiliki jiwa pemimpin yang otoliter, tak tak mampu mengorganisir warga sekolahnya. Maju mundurnya sekolah tergantung dari bagaimana seorang pemimpin mampu mengendalikan roda kepemimpinanya Sedangkan, cara kepala sekolah mengorganisir sekolahnya tergantung dari pendidikan dan pengalaman kepala sekolah. Di lapangan sering ditemui kepala sekolah yang tidak sungguh-sungguh dalam mengorganisir sekolah. Hal itu mungkin disebabkan kepala sekolah tidak mampu atau mungkin kepala sekolah mampu tetapi enggan melakukan pengaturan sekolah dengan baik. Akibatnya, peningkatan mutu sekolah tidak terealisasikan.

3.      Faktor siswa
Faktor penyebab timbulnya masalah/kesulitan belajar pada diri siswa sehingga hasil belajarnya tidak optimal adalah:
a.       Aktifitas belajar kurang.
– Tidak dapat mengatur waktu belajar dengan baik.
– Motivasi belajar dari dalam diri kurang.
b.      Alat penunjang pelajaran kurang, misalnya buku dan alat-alat tulis.
c.       Daya ingatnya lemah dan pemahamannya kurang, sehingga sulit untuk menerima pelajaran.
d.      Karakteristik siswa yang berbeda-beda.
e.       Tidak/kurang suka dengan mata pelajaran tertentu, sehingga kurang
maksimal dalam belajar.

4.      Faktor sarana dan prasarana.
Lengkap tidaknya sarana prasarana akan mempengaruhi hasil belajar siswa. Semakin lengkap akan semakin meningkatkan prestasi belajar siswa, jika sarana dan prasarana tersebut dimanfaatkan secara maksimal. Sebaliknya, kurangnya sarana prasarana akan membuat prestasi belajar kurang maksimal karena potensi siswa tidak tergali secara utuh.
Besar kecilnya dana yang ada juga mempengaruhi lengkap tidaknya sarana prasarana tersebut. Tergantung bagaimana pihak-pihak tertentu untuk mengolah dan mengorganisirnya. Sarana prasarana sudah lengkap, namun pemanfaatannya kurang maksimal akan tetap membawa siswa kurang optimal dalam belajar. Fasilitas yang ada jadi terkesan tidak bermanfaat dan terabaikan.
5.      Faktor masyarakat dan orang tua.
Partisipasi masyarakat yang tergolong rendah menunjukkan bahwa masih ada kendala dalam melaksanakan program hubungan sekolah-masyarakat. Wujud kendala yang dialami dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1)   kurang berfungsinya wadah organisasi orang tua untuk berpartisipasi dalam aktivitas di sekolah,
2)   kurang adanya inisiatif dari kedua pihak, terutama orang tua/masyarakat,
3)   kurang pro aktifnya sekolah dalam mengembangkan program hubungan sekolah-masyarakat,
4)   terbatasnya waktu kepala sekolah atau guru yang ditugasi melaksanakan program,
5)   relatif rendahnya kondisi sosial ekonomi orang tua, dan
6)   berkembangnya anggapan bahwa program itu dapat dilakukan lebih belakangan daripada program sekolah yang lain.
Kendala dari orang tua sendiri terlihat dari beberapa hal berikut ini:
a.       Kurang komunikasi, perhatian dan motivasi belajar dari orang tua
b.      Tidak ada bimbingan sewaktu belajar, sehingga orang tua tidak mengetahui kesulitan anaknya
c.       Suasana di rumah tidak mendukung untuk belajar
d.      Kondisi ekonomi keluarga yang pas-pasan
e.       Fasilitas belajar kurang (tidak ada tempat belajar khusus)
f.       Kurangnya kesadaran orang tua akan pentingnya prestasi yang harus diperoleh seoptimal mungkin oleh anak
B.        Upaya Pemecahan Masalah dalam memajukan Sekolah
Pendidikan pada hakekatnya adalah usaha untuk mengembangkan kepribadian dan skill yang berlangsung seumur hidup, baik internal maupun eksternal sekolah. Karena itu pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan sekolah. Dalam hal ini sekolah merupakan lembaga yang berperan menyiapkan siswa agar dapat mencapai perkembangannya secara optimal, baik segi fisik, mental emosional, sosial dan intelektual.
Sekolah adalah suatu lembaga yang sangat penting untuk menghasilkan manusia-manusia penerus bangsa yang mempunyai kemampuan intelegensi, moral, dan spiritual yang seimbang. Untuk menghasilkan manusia berkualitas diperlukan usaha dan kerja keras yang tidaklah mudah dari berbagai pihak, yaitu siswa, keluarga, masyarakat dan juga para pendidik. Pihak-pihak inilah yang harus berperan aktif dalam pencapaian target yang telah ditetapkan. Dalam pencapaian target tersebut banyak sekali masalah yang akan dihadapi. Sebagai suatu lembaga sekolah harus mampu menanggulangi setiap masalah yang dialami.
Berdasarkan perkembangan sekolah zaman sekarang, banyak sekolah yang kurang memaksimalkan pngembangan potensi murid, kurangnya pendayagunaan sarana dan prasarana guna mendukung pengembangan tersebut, dan kurang adanya motivasi untuk percaya diri membawa sekolah menjadi lebih baik dan maju.
Salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah. Berbagai usaha telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, misalnya pengembangan kurikulum nasional dan lokal, peningkatan kompetensi guru melalui pelatihan, pengadaan buku dan alat pelajarann, pengadaan dan perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, dan peningkatan mutu manajemen sekolah. Namun demikian, berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukan peningkatan yang berarti. Sebagian sekolah, terutama di kota-kota, menunjukan peningkatan mutu pendidikan yang cukup menggembirakan, namun sebagian lainnya masih memprihatinkan.
Faktor pertama, kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan education function atau input-output analisys yang tidak dilaksanakan secara konsekuen. Pendekatan ini melihat bahwa lembaga pendidikan berfungsi sebagai pusat produksi yang apabila dipenuhi semua input (masukan) yang diperlukan dalam kegiatan produksi tersebut, maka lembaga ini akan menghasilkan output yang dikehendaki. Pendekatan ini menganggap bahwa apabila input seperti pelatihan guru, pengadaan buku dan alat pelajaran, dan perbaikan sarana serta prasarana pendidikan lainnya, dipenuhi, maka mutu pendidikan (output) secara otomatis akan terjadi. Dalam kenyataan, mutu pendidikan yang diharapkan tidak terjadi. Karena selama ini dalam menerapkan pendekatan educational production function terlalu memusatkan pada input pendidikan dan kurang memperhatikan pada proses pendidikan. Padahal, proses pendidikan sangat menentukan output pendidikan.
Faktor kedua, penyelenggaran pendidikan nasional dilakukan secara birokratik-sentralistik sehingga menempatkan sekolah sebagai penyelenggaraan pendidikan sangat tergantung pada keputusan birokrasi yang mempunyai jalur yang sangat panjang dan kadang-kadang kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kondisi sekolah setempat. Sekolah lebih merupakan subordinasi birokrasi diatasnya sehingga mereka kehilangan kemandirian, keluwesan, motivasi, kreativitas/inisiatif untuk mengembangkan dan memajukan lembaganya termasuk peningkatan mutu pendidikan sebagai salah satu tujuan pendidikan nasional.
Faktor ketiga, peran serta warga sekolah khususnya guru dan peran serta masyarakat khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini sangat minim. Partisipasi guru dalam pengambilan keputusan sering diabaikan, padahal terjadi atau tidaknya perubahan di sekolah sangat tergantung pada guru. Dikenalkan pembaruan apapun jika guru tidak berubah, maka tidak akan terjadi perubahan di sekolah tersebut. Partisipasi masyarakat selama ini pada umumnya sebatas pada dukungan dana, sedang dukungan-dukungan lain seperti pemikiran, moral dan barang/jasa kurang diperhatikan. Akuntabilitas sekolah terhadap masyarakat juga lemah. Sekolah tidak mempunyai beban untuk mempertanggung jawabkan hasil pelaksanaan pendidikan kepada masyarakat, khususnya orang tua siswa, sebagai salah satu unsur utama yang berkepentingan dengan pendidikan (stakeholdir).
Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut diatas, tentu saja perlu dilakukan upaya-upaya perbaikan, salah satunya adalah melakukan reorientasi penyelenggaraan pendidikan, yaitu dari manajemen peningkatan mutu berbasis pusat menuju manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah.
B.1.  Peran Guru dalam memajukan sekolah.
Peran guru lebih menjadi fasilitator bukan orator, yang hanya bisa memerintah anak didiknya melakukan ini atau itu. Ia juga lebih menjadi motivator dan bukan eksekutor. Setiap anak memiliki beragam kekhasan dan keunikan. Dalam belajar, ia menggunakan dari yang visual, audio, sampai kinestetik. Gardner juga mengingatkan adanya multikecerdasan pada setiap anak mulai bersifat logis-matematis, linguistik, musik, sampai intrapersonal.
Kita mengetahui pula taksonomi Bloom, dengan enam fase akusisi pengetahuannya. Kohlberg dengan tahapan perkembangan moralnya. Perkembangan usia pada diri anak sejak usia taman bermain sampai dewasa ternyata memiliki karakteristik perkembangan sosial, moral, emosional, dan kognitif yang harus disadari guru. Semua itu tentu saja menuntut sebuah peran baru, unik, tetapi juga tidak “gampang” dari seorang guru. Ia mengandaikan seorang guru yang “khas”, guru memahami konteks luas itu, terampil dan kreatif dalam pendekatan mengajar, mampu memahami dan memfasilitasi keberbedaan pada diri tiap anak. Peran itu tidak akan mungkin dijalankan seorang guru ketika mereka sendiri tidak mau menyiapkan diri, belajar terus-menerus, dan mengembangkan diri ke arah tersebut. Seorang guru, dengan peran yang berbeda dibandingkan masa lampau, tetaplah ia memiliki pengaruh yang demikian besar bagi anak didik.
Guru adalah seorang pembelajar. Sebagai pembelajar, guru memiliki karakteristik belajar yang berbeda dibandingkan seorang anak. Ia adalah pembelajar yang dewasa (adult learner). Karakteristik belajarnya bersifat khas, misalnya, seorang guru mempunyai cara belajar mandiri, mereka senantiasa memanfaatkan atau mengaitkan dengan pengetahuan atau pemahaman yang mereka miliki sebelumnya.
Mereka belajar secara kontekstual, senantiasa harus menemukan kaitan yang dipelajari dengan situasi nyata dalam hidupnya. Model pembelajaran sifatnya pemecahan masalah (problem solving) lebih menarik dibandingkan yang teoretikal sifatnya. Seorang guru selalu fokus dengan tujuan ( goal ) daripada sekadar rutinitas yang tidak jelas arahnya. Ia lebih tergerak oleh pendekatan atau cara pengajaran daripada sekadar isi yang diajarkan. Ia lebih tersentuh ketika disapa secara pribadi dan dihargai. Ia ingin kemanusiaan, kedewasaan, dan pengalamannya disentuh dan diperhatikan. Suasana interaktif, berbagi pengalaman, dan apresiasi yang sifatnya positif akan lebih membuat mereka termotivasi dan lebih terbuka pada hal yang baru. Guru kreatif terkadang mengajar dalam bingkai eksplorasi dan ketidakjelasan. Ia lebih mencari esensialitas daripada rutinitas atas apa yang dipelajari bersama siswa
B.2. Peran Pemimpin dalam memanjukan sekolah
Kepala sekolah yang memiliki peran dan fungsinya sebagai inovator, harus memiliki strategi yang tepat untuk menjalin hubungan yang harmonis dengan lingkungan, mencari gagasan baru, mengintegrasikan setiap kegiatan memberikan teladan kepada seluruh tenaga kependidikan di sekolah, dan mengembangkan model-model pembelajaran yang kreatif dan inovatif dalam rangka memajukan sekolahnya.
Kepala sekolah yang kreatif dan inovatif  (Mulyasa; 2004) akan tercermin dari cara-cara ia melakukan pekerjaannya secara konstruktif, kreatif, integratif, rasional dan obyektif, pragmatis, keteladanan, disiplin serta adaptabel dan fleksibel. Maka terkait dengan hal tersebut kepala sekolah harus mampu mencari, menemukan dan melaksanakan berbagai pembaharuan di sekolah. Kreativitas harus selalu didorong agar tumbuh rasa percaya diri pada masing-masing guru untuk selalu meningkatkan diri dan mutu sekolahnya. Hasil penelitian Soepardi (2003)  tentang dampak adanya pelaksanaan desentralisasi pendidikan bagi pengelolaan pendidikan dan prakarsa aparat sekolah  memperlihatkan adanya upaya dan krativitas untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan peningkatan kesejahteraan guru, mengadakan disiplin kerja bagi aparat sekolah, dan mengadakan lomba-lomba/kompetisi untuk memajukan pendidikan antar sekolah.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar